PENDEKAR NAGA MAS Cersil Bacaan Dewasa Karya : Yen To (Gan To) Daftar isi: Bab I Sorga cewek di pesanggrahan Hay-thian Bab II 10 tahun mengembara mencari jejak kekasih hati Bab III Pertarungan naga sakti versus elang sakti Bab IV Kisah romantis yang membawa bencana Bab V Bencana pembawa nikmat Bab VI Pendidikan seorang ibu PENDEKAR NAGA MAS Bab I. Sorga cewek di Pesanggrahan Hay-thian. Lian-hong-san disebut juga gunung Lian-bong-san, mempunyai ketinggian empat ratus kaki dari permukaan laut, jauh memandang ke depan terlihat samudra luas terbentang hingga kaki langit, memandang ke arah barat terlihat rentetan pegunungan saling sambung. Bila memandang ke arah timur, terlihat pulau Chin-huang (Chin-huang-to) berada nun jauh di sana. Di atas pintu gerbang sebuah gedung yang sangat megah dan indah, terpampang sebuah papan nama bertuliskan "Hay-thian-itsi" (samudra dan langit satu pandangan), penulisnya tercatat: Ong Sam-kongcu. Di balik halaman gedung yang luas, banyak ditumbuhi pohon siong yang lebat dan kekar, aneka bunga tumbuh mengelilingi sebuah taman dengan jembatan batu yang indah, di sana tampak juga sebuah kebun menjangan serta tugu peringatan. Di halaman bagian belakang tampak sebuah kolam mandi yang amat lebar, kolam itu beralaskan batu hijau yang lebar, air kolam berasal dari sebuah mata air yang memancarkan air dengan deras, kolam itu cukup dalam tapi terawat bersih, sebuah ukiran nama terpampang di atas sebuah batu besar Ti-sim (pusat mandi). Bulan tiga, udara di wilayah Kanglam amat sejuk dan nyaman, rumput tumbuh amat subur, burung beterbangan sambil menyanyikan lagu yang indah, tapi suasana di dalam gedung Hay-thian-it-si milik Ong Sam-kongcu masih nampak bersih bagai sedia kala, hanya tampak asap mengepul dari arah dapur. Pada saat itulah tampak seorang pemuda berusia dua puluh tahunan berperawakan tinggi tapi kekar, berwajah tampan, dengan bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek sedang berenang dalam kolam. Selain pemuda itu, tampak juga dua belas gadis muda belia yang rata-rata berwajah cantik berkumpul di situ, kawanan gadis itu terbagi dalam tiga kelompok, kelompok pertama mengenakan kutang berwarna merah, kelompok kedua memakai kutang berwarna putih dan kelompok ketiga mengenakan kutang berwarna kuning. Saat itu mereka sedang bermsin kejar-kejaran dengan pemuda tampan itu di dalam kolam, suara tertawa cekikikan meramaikan suasana. Pemuda tampan itu adalah Ong Sam-kongcu (tuan muda ketiga dari keluarga Ong) Ong it-huan, seorang jago silat termashur dalam dunia persilatan sebagai "cepat serangannya bagai petir, kuat pukulannya bagai bukit karang, memandang uang bagai tanah dan menyayangi perempuan bagai bunga". Sementara kedua belas gadis cantik bertubuh seksi itu tak lain adalah dua belas tusuk konde emas, pengawal pribadi Ong Sam-kongcu. Bicara soal Ong Sam-kongcu, dia benar-benar termasuk seorang aneh. Ditinjau dari ilmu silat yang dimiliki, perawakan. tubuh serta wajahnya yang menawan, ditambah kekayaan keluarganya yang berlimpah, boleh dibilang dia merupakan idaman setiap gadis dan pendekar wanita, tapi anehnya dia tak pernah tertarik dengan gadis mana pun, entah sudah berapa banyak gadis yang menitikkan air mata kekecewaan. Sementara kedua belas tusuk konde itu terhitung gadis-gadis berperangai lembut, hangat dan setia, bukan saja mereka bergabung tanpa imbalan, bahkan mereka rela melayani semua keperluan Ong Sam-kongcu tanpa berkeluh kesah. Pada mulanya, Ong Sam-kongcu pernah mengemukakan perasaan hatinya kepada kedua belas gadis itu, apa mau dikata kedua belas gadis itu tetap bersikeras untuk melayani keperluannya, kata mereka, asal tiap hari dapat memandang wajahnya, mesti berkorban pun mereka rela. Menghadapi desakan ini, terpaksa Ong Sam-kongcu menerimanya sambil tertawa getir. Karena gagal membujuk mereka mengurungkan niatnya, Ong Sam-kongcu pun memberi kebebasan seluas-luasnya kepada para gadis itu untuk berbuat sekehendak mereka, toh resiko ditanggung penumpang. Kedua belas gadis itu berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, namun tujuan kedatangan mereka rata-rata hampir sama. Mereka sepakat untuk berjuang hingga titik darah penghabisan, batu cadas yang amat keras pun akhirnya akan berlubang bila tiap hari terkena air, apalagi perasaan cinta seseorang, toh pepatah bilang: Cinta itu datang bila sering bertemu. Mereka semua berjanji, bila tuan muda tidak mendahului melakukan reaksi, siapa pun dilarang memikat atau merangsang majikannya dengan cara yang licik. Selama dua tahun kedua belas tusuk konde emas selalu memerankan posisi sebagai seorang "dayang", jika Ong Sam-kongcu tidak memanggil, siapa pun tak berani mendekat atau mengiringinya. Perasaan manusia memang tak sekeras baja, siapa bilang napsu dan cinta bisa dibendung? Apalagi satu-satunya perempuan yang dicintai secara diamdiam tak pernah memberi tanggapan, dia selalu bertepuk sebelah tangan, lama kelamaan jalan pikiran Ong Sam-kongcu pun mulai berubah. la mulai mengajak bicara kedua belas tusuk kondenya, mulai bergurau dan menggoda. Akhirnya dia putuskan untuk pergi meninggalkan kota Kim-ling, kota penuh kesedihan itu dan mendirikan pesanggrahan megah Hay-thian-it-si di atas bukit. Setiap pagi jam 6, ia selalu bertelanjang dada menceburkan diri ke dalam kolam yang amat dingin itu untuk membenamkan diri, dia ingin menggunakan hawa dingin yang menusuk tulang untuk mengusir rasa rindunya terhadap kekasih hati. Orang bilang, jika kau patah hati, makanlah kulit pisang yang dibubuhi abu gosok. Tapi Ong Sam-kongcu lebih suka memakai "ilmu membeku" untuk menghadapi perasaan patah hatinya, dia ingin mendinginkan gejolak hawa panas yang membara dalam dadanya. Untuk mengimbangi kemauan tuannya, setiap kali Ong Sam-kongcu terjun ke kolam maka dua belas tusuk konde pun ikut terjun ke kolam menemani, tak heran kalau tak sampai sepuluh hari, ilmu berenang yang dikuasai kedua belas orang gadis itu sudah sangat hebat. Di luar kebiasaan, semalam Ong Sam-kongcu mengundang mereka berdua belas untuk berenang bersama pagi ini. Undangan itu membuat mereka terkejut bercampur girang, saking tegangnya, nyaris semalaman tak bisa tidur. Belum lagi jam menunjukkan pukul 4 fajar, Mereka sudah tiba di tepi kolam untuk melakukan pemanasan badan. Begitu tiba di tepi kolam, Ong Sam-kongcu segera mengejek sambil tertawa: "Hahaha ... mana ada orang melakukan pemanasan dengan mengenakan pakaian setebal itu!" Sambil berkata ia lepaskan jubah luarnya dan bertelanjang dada. Berdebar keras hati kawanan gadis itu setelah melihat kulit tubuhnya yang putih bersih tapi kekar berotot, tersipu-sipu mereka menundukkan kepala dengan wajah bersemu merah. Menghadap datangnya sang fajar Ong Sam-kongcu menarik napas panjang sambil mengatur hawa murninya, lalu diiringi pekikan nyaring mulai memainkan ilmu pukulan Pat-kwa naga sakti Yu-liong-pat-kwa-ciang. Terlihat bayangan manusia berkelewat ringan bagaikan asap, deru angin pukulan menggelegar bagai guntur, begitu dahsyat ilmu pukulan itu membuat kedua belas tusuk konde terbelalak kagum. Tiba-tiba Ong Sam-kongcu berpekik panjang, tubuhnya melambung setinggi tiga kaki, sambil menekuk tubuh, sepasang tangannya diluruskan ke muka, dan ... "Byruuuur....!" diiringi percikan air, ia terjun ke dalam kolam. "Ilmu gerakan tubuh yang indah!" puji kedua belas tusuk konde serentak. Buru-buru mereka melucuti pakaian sendiri dan beruntun menceburkan diri ke dalam kolam. Sesudah berenang berapa saat, Ong Sam-kongcu mengusulkan untuk bermain "perang air", biarpun dua belas tusuk konde tak paham bagaimana mainnya, namun mereka segera menyanggupi seraya tertawa cekikikan. "Ayo kita mulai!" teriak Ong Sam-kongcu tiba-tiba, badannya segera menyelam ke dasar kolam. Kolam Ti-sim ini mempunyai kedalaman hampir dua kaki, dengan ilmu berenang yang dimiliki Ong Sam-kongcu ditambah tenaga dalamnya yang amat sempurna, biarpun berada di dalam air, dia dapat melihat pemandangan di sekelilingnya dengan jelas. Tak selang berapa saat kemudian ia dapat melihat dengan jelas paha, pinggul serta payudara kawanan cewek muda itu. Apalagi tiga cewek yang mengenakan kutang berwarna putih, lekukan payudaranya nampak begitu jelas dan nyata, ditambah bentuk teteknya yang besar tapi kenyal, betul-betul membuat darah di tubuhnya mendidih. Sejak terjun ke dalam dunia persilatan, walaupun Ong Sam-kongcu sudah banyak pengalaman bermain cewek, sudah berulang kali mencicipi pelbagai jenis cewek, yang kurus, yang gemuk, yang muda, yang setengah tua, namun semuanya itu hanya sebatas iseng saja, apalagi kawanan cewek itu adalah cewek penghibur dan semuanya tak pandai ilmu silat. Sebaliknya kedua belas cewek ini berani mendekati Ong Sam-kongcu yang status sosialnya tinggi dan berilmu silat hebat, tentu saja karena mereka anggap status serta kemampuan sendiri mampu menandingi pemuda itu. Oleh sebab itu mereka berdua belas bukan saja termasuk "barang yang pantas digunakan", bahkan terhitung "barang kelas satu". Dalam pada itu Ong Sam-kongcu sudah mulai terangsang setelah melihat paha-paha mulus itu. Karena pikiran bercabang, dua gadis yang berada di belakangnya segera menyusul tiba. Sadar akan terkejar, buru-buru tangannya mendayung ke belakang sembari menjejakkan kakinya, lagi-lagi tubuhnya menyelam ke bawah air. Kebetulan waktu itu ada seorang gadis berkutang merah sedang muncul di atas permukaan air untuk berganti napas, Ong Sam-kongcu segera menghampirinya sambil menggelitik ketiak kirinya. Tiba-tiba gadis itu merasa geli bercampur kaku, badannya jadi lemas hingga tak tahan lagi minum satu tegukan air kolam. Sambil munculkan diri berganti napas, Ong Samkongcu membuat muka setan kepadanya lalu menyelam lagi ke dalam air. Gadis itu malu bercampur girang, dengan badan lemas dia paksakan diri berenang ke tepi kolam, lalu sambil merendam kakinya ke dalam air, ia menonton Ong Sam-kongcu mempermainkan gadis lain. Dari balik air kolam yang jernih, terlihat tubuh Ong Sam-kongcu bagaikan seekor naga berenang kian kemari, menggelitik setiap gadis yang dijumpai, membuat nona-nona muda itu Kegelian dan tertawa cekikikan. Mereka berniat mengepung pemuda itu, sayang kepandaian mereka masih kalah setingkat, tiap kali sudah terkepung tahu-tahu anak muda itu terlepas lagi. Yang lebih parah lagi, setiap kali menerobos keluar kepungan, seperti tak disengaja atau mungkin memang disengaja, Ong Sam-kongcu selalu menyentuh payudara mereka yang montok, sentuhan ini membuat mereka merasa kaku, gatal dan membangkitkan hawa napsu, tubuh mereka seakan terkena listrik tegangan tinggi. Tak heran gerak tubuh mereka semakin melambat, menggunakan kesempatan itu Ong Sam-kongcu semakin bergairah mempermainkan mereka, kalau bukan menyentuh, menyenggol atau bahkan seakan menumbuk ... anehnya, hanya bagian tertentu dari kawanan nona itu yang disentuhnya. Gelak tertawa, jeritan kaget bergema memenuhi angkasa dan memecahkan keheningan fajar. Dua belas tusuk konde menganggap mereka senasib sependeritaan, oleh sebab itu di antara mereka ada tingkat urutan disesuaikan usia masing-masing, gadis yang saat itu sedang duduk di tepi kolam adalah tusuk konde nomor enam, Lan-hoa Losat, iblis wanita bunga anggrek Pek Lan-hoa. Sebelum bergabung, dia adalah putri tunggal seorang piausu, setelah ayahnya tewas dalam suatu pengawalan barang, tak lama kemudian ibunya menyusul ke alam baka lantaran sedih ditinggal mati suaminya. Atas perantara kakak seperguruan ayahnya, Pek Lan-hoa mengangkat Kiu-ci Popo menjadi gurunya, setelah berlatih hampir lima tahun lamanya, dengan ilmu silat yang cukup tangguh dia membuat perhitungan dengan musuh besar pembunuh ayahnya. Karena telengas di saat menuntut balas, dia mendapat julukan si iblis wanita bunga anggrek. Saat itu dia menonton dari tepi kolam hingga suasana dalam kolam terlihat sangat jelas, tiba-tiba ia temukan di bagian bawah celana Ong Sam-kongcu ada sesuatu benda yang menonjol keluar, tonjolan benda itu besar sekali hingga membuat celana pendek yang ketat itu seolah hampir terobek. Jangan dianggap dia masih seorang gadis perawan, namun pengetahuannya soal hubungan laki perempuan sangat matang dan jelas, begitu melihat bentuk "memalukan" dari celana Ong Sam-kongcu, dia segera mengerti kalau anak muda itu mulai terangsang dan napsu birahinya bangkit, diam-diam ia merasa kegirangan. Setelah berputar biji matanya, sambil berpikir sejenak mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya. Buru-buru dia memeriksa sekeliling tempat itu, setelah yakin tak ada orang yang perhatikan, pelan-pelan Pek Lan-hoa mengendorkan tali kutangnya, kemudian sekali lagi ia terjun ke air dan berenang mendekati Ong Sam-kongcu. Melihat Pek Lan-hoa telah terjun kembali ke dalam air, diam-diam Ong Samkongcu berenang mendekati. Melihat pemuda itu mendekat, secepat kilat Pek Lan-hoa menjejakkan kakinya sementara tangan kanannya segera menyambar lengan kanan lawan. Buru-buru Ong Sam-kongcu mengegos ke samping, setelah lolos dari cengkeraman nona itu, dia menyusup dari samping dan menggelitik ketiak kanan gadis itu. Kaget bercampur gelisah cepat-cepat Pek Lan-hoa menyembur pemuda itu dengan air. Terkena semburan air yang datang secara tak terduga, otomatis Ong Samkongcu menarik tali kutang di sisi nona itu, akibatnya kutang yang sudah kendor talinya itu segera terbetot lepas dari tubuh Pek Lan-hoa. Tubuh yang putih dengan payudara yang gede, kenyal dan kencang itu segera muncul di hadapan Ong Sam-kongcu, membuat napas pemuda itu mulai tersengal karena menahan diri.... Pek Lan-hoa menjerit kaget, tubuhnya jadi lemas dan .... "Glukk ...!" beberapa teguk air kolam masuk ke dalam mulutnya, membuat nona itu mulai tenggelam ke dalam kolam. Jerit kaget dari kawanan gadis lainnya bergema memecah keheningan. Cepat-cepat Ong Sam-kongcu berenang mendekat, dengan tangan kiri menjepit perut nona itu, dia berenang naik ke atas permukaan. Tiba-tiba Pek Lan-hoa merangkul punggungnya dengan kedua belah tangannya, ia tempelkan tubuhnya rapat-rapat dengan pemuda itu. Ong Sam-kongcu mengira hal itu merupakan reaksi alami dari seorang yang tercebur ke dalam air, buru-buru dia balas memeluk tubuhnya erat-erat. Kini golok sudah dicabut keluar dan sulit disarungkan kembali, Pek Lan-hoa pura-pura meronta terus ke kiri kanan, padahal secara diam-diam ia mulai persiapkan sarung golok di balik celananya secara tepat agar golok lawan nantinya bisa langsung disarungkan .... Gadis itu segera merasa "benda besar" di balik celana dalam pemuda itu semakin membengkak hingga tegang besar. Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu "benda besar" itu sudah meloncat keluar dari balik celana, Pek Lan-hoa kegirangan, buru-buru dia menggaet punggung lawan dengan sepasang kakinya, lalu badannya ditekan ke bawah kuat-kuat. "Aaah ....!" tiba-tiba ia merasa lubang miliknya terasa sakit sekali. Ong Sam-kongcu bukan orang bodoh kemarin sore, sadar kalau dia sudah "dikerjai", ditambah lagi dia sendiri memang mempunyai "kebutuhan" ke situ, maka ia pun berlagak pilon dengan menggerakkan badannya semakin melekat ke tubuh gadis itu. Pek Lan-hoa merasa malu bercampur girang, ia pejamkan sepasang matanya sambil menikmati, dalam keadaan begini ia tak berani memandang ke arah rekan lainnya. Dengan tangan kiri memeluk gadis itu, tangan kanan mendayung, pelan-pelan Ong Sam-kongcu membawa nona itu berenang ke tepi kolam, setelah itu kepada dua orang gadis yang berada di sisinya, ia berkata sambil tertawa: "Tolong bantu aku membopong dia!" Kini kawanan gadis yang lain sudah tahu tentang "siasat busuk" Pek Lan-hoa, biarpun dalam hati merasa tak puas karena dia telah melanggar "kesepakatan", namun mereka pun berterima kasih kepadanya karena telah menjadi "pelopor" untuk yang lain. Setelah naik ke tepi kolam, kedua orang gadis itu segera mengambil tiga stel pakaian yang digunakan sebagai alas untuk punggung Pek Lan-hoa, kemudian dengan menarik kedua lengannya ke atas dan disejajar-kan dipermukaan kolam, mereka mulai memeganginya kuat-kuat. Pada kesempatan itu, Ong Sam-kongcu menempelkan sepasang lututnya di tepi kolam, lalu sambil berpegangan di sisi batu, ia mulai menaik turunkan badannya ... pertempuran dalam air segera dimulai. Sepasang kakinya menggaet belakang punggung Ong Sam-kongcu, Pek Lanhoa pejamkan mata rapat-rapat, wajahnya bersemu merah, biarpun menahan rasa sakit karena robeknya selaput perawan, ia membiarkan majikannya berbuat sekehendak hati. Titik noda darah mulai muncul di atas permukaan air kolam, para nona tahu Pek Lan-hoa masih perawan dan baru saja kegadisannya direnggut Ong Samkongcu, diam-diam mereka kagum kepada nona itu karena rela berkorban demi kebutuhan majikannya. Menyaksikan hubungan laki perempuan yang berlangsung secara "hidup" di hadapan mereka, para gadis mulai merasakan hatinya berdebar keras, napasnya ikut tersengal dan wajahnya bersemu merah seperti orang mabuk, siapa pun rasanya ingin turut serta dalam pertempuran itu dan ikut mencicipi bagaimana rasanya "ditiduri" majikan mereka. Dengan penuh bemapsu Ong Sam-kongcu menggerakkan tubuhnya naik turun, makin lama gerakannya makin cepat.... Tak selang berapa saat kemudian terdengar ia mendengus tertahan, lalu gerakan tubuhnya mulai melambat sebelum akhirnya berhenti. Terdengar anak muda itu menghembuskan napas lega, lalu sambil memeluk kencang tubuh Pek Lan-hoa, ia tak bergerak lagi. "Kongcu" nona nomor satu segera menghampiri sambil menegur: "apa perlu beristirahat sebentar di tepi kolam?" "Aaah! Betul" teriak Ong Sam-kongcu kaget, "setelah mengeluarkan cairan mani, aku memang tak boleh berendam terus di air dingin, bisa merusak kondisi badanku!" Maka sambil tersenyum dia manggut-manggut. Dua orang nona itu segera menariknya kuat-kuat dan membawanya ke tepi kolam. Tampak "benda" Ong Sam-kongcu sudah tidak setegang tadi, biarpun begitu, ukurannya ternyata sungguh mengejutkan! Dalam pada itu gadis nomor satu telah membantu Ong Sam-kongcu mengenakan pakaian. Mengawasi celana dalamnya yang sempat robek karena diterjang "barang"nya yang membesar, merah padam selebar wajah Ong Sam-kongcu, kuatir digoda para nona yang lain, selesai berpakaian buru-buru perintahnya: "Cepat bawa nona nomor enam ke dalam kamarnya" Para nona pun segera menutupi badan Pek Lan-hoa yang telanjang bulat dengan pakaian, kemudian menggotongnya balik ke dalam kamar. Memandang bayangan tubuh kawanan gadis yang menjauh, diam-diam Ong Sam-kongcu tertawa getir, gumamnya: "Habis sudah riwayatku, gara-gara ulah Lan-hoa yang mendobrak tradisi, hari-hari berikut aku bakal kerepotan setiap malam!" Selesai berkata, dia pun segera berlalu dari situ kembali ke dalam kamarnya. Angin gunung yang dingin berhembus kencang, kegelapan maiam mulai mencekam seluruh jagat, cahaya lentera mulai berkelip bagai cahaya bintang di langit. Saat dan suasana seperti ini merupakan waktu yang paling tepat untuk bersembunyi di balik selimut sambil memeluk "selimut" yang lain. Tapi suasana dalam gedung Hay-thian-it-si justru amat riuh ramai oleh gelak tertawa dan suara nyanyian. Tampak Ong Sam-kongcu didampingi kedua belas tusuk kondenya sedang berpesta pora sambil minum arak, mendengarkan kisah pengalaman Ong Samkongcu yang luas dan suara kawanan gadis yang merdu bagai kicauan burung kenari, suasana dalam ruang utama terasa begitu hangat bagaikan berada di wilayah Kang-lam. Tiba-tiba Pek Lan-hoa bangkit berdiri, setelah menjura di hadapan Ong Samkongcu, ujarnya lembut "Kongcu, saudaraku sekalian, untuk merayakan hari teramat bahagia hari ini, siaumoay sengaja telah menciptakan sebuah lagu baru, mohon kongcu sudi memberi petunjuk!" Baru habis berkata, sepasang pipinya telah berubah semu merah, lalu kepalanya tertunduk dengan tersipu-sipu. Ong Sam-kongcu mengerti yang dimaksud gadis itu adalah hubungan badan yang telah terjadi pagi tadi, tak tahan ia tertawa tergelak: "Hahahaha ... bagus sekaln Kalau begitu, biar aku nikmati merdunya suaramu." Di antara berkelebatnya bayangan manusia, enam orang gadis masing-masing mengambil sejenis alat musik, sementara Si Ciu-ing sebagai kakak paling tua segera berdiri di tengah ruangan, gerak-geriknya lembut dan indah bagai bidadari. Sementara lima orang gadis yang lain berdiri berjajar di belakang tubuh toacinya sembari memandang Ong Sam-kongcu dengan senyum di kulum. Terdengar Si Ciu-ing dengan suara merdu berkata: "Kongcu, Ciu-ing bersama beberapa orang adik akan memainkan sebuah lagu "Hun-sou-ciu-mong" (impian lama pengikat sukma), mohon petunjuk dari anda." Sembari tersenyum Ong Sam-kongcu manggut-manggut. Irama musik pun mulai bergema memecahkan keheningan Lima orang gadis yang berdiri di belakang Si Ciu-ing mulai menggerakkan tubuhnya yang lemah gemulai membawakan tarian yang indah mengikuti irama musik.. Dengan suaranya yang merdu, Si Ciu-ing mulai bersenandung: "Bunga rontok air mengalir, musim semi berlalu tanpa sisa, yang tampak hanya angin timur yang kejam. Bunga mekar embun di kuncup, itulah saat yang romantis untuk bermesraan. Bila masa remaja berlalu, tak pemah akan kembali lagi, lenyap di ujung langit, hilang tak berbekas. Walet beterbangan kupu-kupu menari, suasana di musim semi sungguh menawan hati" Dengan termangu Ong Sam-kongcu menikmati alunan musik dan senandung yang merdu merayu itu, tanpa terasa ia mulai bangkit berdiri dan mengawasi wajah Si Ciu-ing dengan penuh kehangatan dan perasaan cinta yang amat mesra. Tak kuasa sepasang kakinya mulai bergeser menghampiri nona itu. Musik masih mengalun sangat merdu, sementara Ong Sam-kongcu sudah memeluk pinggang Si Ciu-ing yang ramping dan mengikuti alunan musik, tubuhnya mulai bergeser meninggalkan ruangan. Tak selang berapa saat kemudian, ia telah membawa Si Ciu-ing masuk ke dalam kamarnya. Sambil berjalan, dengan tangannya yang terlatih dan penuh pengalaman, dia mulai melucuti pakaian yang dikenakan gadis itu satu per satu. Baju luar, kutang, celana panjang, celana dalam ... satu demi satu berguguran jatuh ke lantai. Sedetik kemudian Si Ciu-ing sudah berbaring di atas ranjang dalam keadaan telanjang bulat. Ong Sam-kongcu tidak menunggu lebih lama, sambil menikmati tubuh bugil sang nona yang putih halus, dengan sepasang tetek yang besar tapi kencang itu, dia mulai melucuti pakaian sendiri satu per satu, tak lama kemudian dia pun sudah dalam keadaan bugil. Dengan lidahnya yang basah pemuda itu mulai menjilati seluruh bahu Si Ciuing, sementara tangan kanannya mulai meraba dan menggerayangi sekujur badan si nona, meremas sepasang payudaranya, membelai pusarnya, lalu turun ... turun terus ... mulai membelai hutan bakau yang hitam lebat dan ... sebuah kolam surga yang mungil tapi teramat indah .... Si Ciu-ing mulai terangsang, peluh mulai bercucuran membasahi tubuhnya, ia merasa geli tapi nikmat... sebuah aliran hawa panas mulai muncul dalam tubuhnya, menimbulkan perasaan yang aneh sekali.... Melihat gadisnya mulai gemetar, Ong Sam-kongcu makin terangsang, dari bahu, dia mulai menjilati punggung dan tengkuk si nona. Si Ciu-ing gemetar makin keras. "Kongcu, aku ... aah!" desisnya lirih. Ong Sam-kongcu mengerti, walaupun Si Ciu-ing masih perawan, namun rangsangan yang dia lakukan membuat si nona terangsang dan mulai tak tahan, ia pun mulai berbaring di sisi tubuhnya seraya memanggil: "Adik Ing!" "Ehmm ...." dengan wajah jengah dan malu Si Ciu-ing menyahut. Dengan lembut Ong Sam-kongcu menempelkan tubuhnya di atas badan si nona, terasa payudaranya yang hangat, lembut tapi penuh kekenyalan mulai menempel di atas badannya, ia tak tahan dan segera memeluknya erat-erat. Menyusul kemudian ia mulai menciumi seluruh jidatnya, kelopak matanya, ujung hidungnya, sepasang bibirnya dan berhenti di telinganya, dimana dia mulai menjilat, menggigit dan menghisapnya pelan-pelan. Si Ciu-ing semakin gemetar, tak kuasa badannya mulai menggeliat tiada hentinya. Dengan sepasang bibirnya, Ong Sam-kongcu menciumi bibirnya yang panas dengan penuh bemapsu, Si Ciu-ing mendesis, tiba-tiba dia balas merangkul tubuh Ong Sam-kongcu, memeluk kencang dan balas mencium pemuda itu dengan penuh bernapsu. Bibir bertemu bibir, lidah bertemu lidah .... Ong Sam-kongcu dengan tangan kirinya membelai lembut punggung dan pinggulnya, ia merasa tubuh nona itu sangat halus, lembut dan penuh daya rangsang yang memikat. Belaian itu membuat Si Ciu-ing semakin bemapsu, dia cium pemuda itu makin buas, menciuminya hingga nyaris tak mampu bernapas, kemudian setelah melepaskan ciumannya, ia mulai berbaring terengah-engah. Dengus napas yang memburu membuat sepasang payudaranya yang putih montok ikut gemetar keras, Ong Sam-kongcu tidak berdiam diri, mengawasi payudara si nona yang bergetar naik turun, terutama sepasang puting susunya yang mulai mengeras dan berdiri rhenantang, ia merasa hawa napsunya makin membara, ia mulai tak sanggup menahan diri lagi.... Dengan bibirnya yang hangat dia mulai menghisap puting susu sebelah kanan yang mengeras, sementara tangan kirinya mulai membelai, meraba ... dan meremas payudara kirinya yang menantang.... Seperti tersambar kilatan halilintar Si Ciu-ing gemetar keras, hisapan pada puting susunya membuat ia merasa geli ... geli tapi amat merangsang, begitu terangsangnya hingga ia mulai berkunang-kunang, dengus napasnya makin cepat... semakin terengah. Yang lebih menyiksa lagi, ternyata Ong Sam-kongcu bukan cuma menghisap, dia mulai menggigit puting susunya yang sedikit lebih besar dari kacang itu dengan bernapsu, biarpun gigitan itu ringan dan merangsang, tapi si nona merasa amat geli, gatal dan aneh sekali.... Tiba-tiba Si Ciu-ing merasa seperti ingin "kencing", tak tahan ia mulai bersin berulang kali. Menyaksikan hal itu, dengan tangan kirinya Ong Sam-kongcu segera meraba "lubang surga" di antara sepasang paha si nona, dengan cepat dia dapati semacam cairan basah yang licin tapi lengket telah membasahi sekeliling tempat itu, tak tahan pikirnya: "Tak salah orang berkata, semakin montok seorang nona, semakin gampang ia mencapai "puncak"nya!" Maka dia pun mulai menghisap dan menggigit pelan puting susu yang kiri. Dengan wajah tersipu dan suara gemetar Si Ciu-ing mulai mendesis: "Aaah kongcu ... jangan ... jangan begitu ... aku ... aku mulai tak tahan ... aah ... aahh ...!" Ong Sam-kongcu tertawa pelan, dia mulai berjongkok di atas badan si nona, merentang lebar sepasang kakinya lalu "tombak panjang" miliknya mulai ditempelkan di atas "sarung senjata" lawan dan pelan-pelan dihujamkan ke bawah dengan penuh kelembutan. Si Ciu-ing merasa amat sakit, terutama ketika "tombak" lawan mulai mengoyak jaring tipis miliknya ... sambil mengertak gigi ia menahan diri, biar sakit dia tak bergeming, dia biarkan majikannya menjebol "jaring" pertahanan miliknya.... Ong Sam-kongcu merasakan Kenikmatan yang luar biasa muncul dari ujung "tombak"nya langsung menyebar ke sekujur badan, ini membuat dia semakin bernapsu untuk menghisap, menjilat dan menggigit sepasang puting susu nona itu. Si Ciu-ing mencengkeram ujung bantalnya kuat-kuat menahan rasa sakit dan pedih yang amat sangat, terutama ketika ujung "tombak" lawan mulai menembusi "jaring" pertahanannya, dia hadapi "serangan" lawan dengan penuh ketegangan.... Menurut yang dia ketahui, robeknya selaput perawan seorang gadis adalah saat yang paling sakit dan menderita, bahkan ada sementara orang tak mampu turun dari ranjang selama tiga hari sebelum rasa sakit itu dapat di atasi, karena itu dia tingkatkan kewaspadaan untuk menghadapi serangan itu. Untung sekali Ong Sam-kongcu bukan termasuk kekasih yang kelewat terburu napsu, dia selalu memperhitungkan penderitaan lawan, pemuda itupun bukan termasuk lelaki golongan "kereta cepat" yang ingin terburu-buru sampai di tempat tujuan. Kenyataan ini membuat Si Ciu-ing diam-diam menghembuskan napas lega, tak lama kemudian rasa geli, gatal dan kesemutan sekali lagi menyelimuti sekujur badannya. Tak kuasa lagi dia mulai menggeliat, mulai bergerak, mulai mengimbangi gerak tubuh lawan ... ia mulai mendengus, mendesis dan merintih .... Tangan yang semula dipakai untuk mencengkeram Ujung bantal, kini digunakan untuk memeluk punggung Ong Sam-kongcu. Entah berapa lama sudah lewat... akhirnya ... ujung tombak telah mencapai dasarnya! Sepasang tangannya yang semula dipakai untuk memeluk punggung Ong Sam-kongcu, kini mulai bergeser turun, bergeser ke atas pinggulnya bahkan secara pelan-pelan rnulai membantu gerakan pinggul pemuda itu agar bisa menghujam lebih ke bawah ... menghujam lebih dalam .... Dengan gerakan "mengikuti arus mendorong sampan" Ong Sam-kongcu membiarkan tombaknya menusuk "lubang surga" gadis itu dalam-dalam. Semakin ditusuk, ujung tombak yang menembusi "lubang surga" lawan menghujam makin dalam sehingga akhirnya hampir seluruh badan "tombak" terbenam dalam tubuh lawan.... Dalam posisi seperti ini, Ong Sam-kongcu tak mau membuat gadis pujaannya mengerang kesakitan, dia berusaha agar nona itu bebas dari penderitaan. Sekali lagi dia cium bibir nona Si dengan penuh kemesraan, menjilat, mencium dan menghisap ujung lidahnya. Si Ciu-ing balas mencium pemuda itu dengan penuh napsu. Biarpun gerakannya masih kaku dan terasa asing, namun penuh mengandung kehangatan cinta dan napsu yang membara. Pelan-pelan Ong Sam-kongcu masukkan ujung lidahnya ke dalam bibir gadis itu, menyongsong ujung lidahnya yang lembut, halus dan hangat, lalu menghisapnya pelan. Selama hidup belum pernah Si Ciu-ing mengalami kejadian seperti ini, apalagi dalam hubungan antara laki dan perempuan, hakekatnya dia hanya seekor ayam yang tercebur dalam sumur, sarna sekali tak punya pengetahuan apalagi pengalaman, mendengar pun belum pernah. Tahu kalau gadis itu tak punya pengalaman, Ong Sam-kongcu mulai memberi petunjuk dan kursus kilat, tak sampai seperminum teh kemudian Si Ciu-ing yang pintar segera dapat menguasai tehnik itu dan mempraktekkan dengan sempurna. Sepasang ujung lidah pun sebentar masuk sebentar keluar, dalam bibir masing-masing saling menggaet saling menghisap dan saling menggigit.... Menggunakan kesempatan itu diam-diam Ong Sam-kongcu mulai menaik turunkan tubuhnya beberapa kali, dia segera dapat merasa kalau "jalanan mulai becek dan basah" bahkan "lorong jalan" itu sudah semakin longgar ketimbang tadi, maka dia pun rnulai beraksi dengan menggoyangkan tubuhnya, bukan cuma naik turun, bahkan mulai memutar sambil menekan. "Aaah ... kongcu ... aaah...." desis merdu bergema memecah keheningan: "aaah ... kongcu ... nikmat” Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah lupa diri, mereka tenggelam dalam deru napsu yang makin meningkat, gerak tubuh mereka kian lama kian bertambah cepat. Kalau semula Si Ciu-ing belum berani melakukan gerak balasan, kini dia mulai aktif berperan, pinggulnya ikut bergoyang sambil berputar mengimbangi gerakan tubuh lawan.... Begitu asyiknya mereka "bertempur" hingga siapa pun tak tahu sejak kapan irama lagu di luar gedung sudah berhenti berbunyi. Beruntun tiga hari tiga malam Ong Sam-kongcu tak pernah bergeming selangkah pun dari dalam kamar tidur Si Ciu-ing. Malam itu untuk kesekian kalinya mereka bertempur sengit, setengah jam kemudian mereka berdua sama-sama "terluka dan mengucurkan darah" hingga mesti tergeletak lemas di ranjang. Saat itulah terdengar Si Ciu-ing berbisik lirih: "Kongcu, aku ... aku benarbenar merasa nikmat!" Ong Sam-kongcu menciumnya penuh rasa sayang, kemudian ujarnya serius: "Adik Ing, aku ... aku ingin meminangmu!" Tertegun Si Ciu-ing sehabis mendengar berita gembira yang sama sekali tak terduga itu, dengan senyum di kulum dan nada gemetar tegasnya: "Kongcu, kau ... kau serius?" "Tentu saja serius adik Ing, kau bukan cuma cerdik, kehangatan tubuhmu dapat memuaskan napsuku, mendatangkan kegembiraan yang luar biasa! Kau ... kau bersedia aku kawini?" Sambil mengucurkan air mata kegirangan Si Ciu-ing mengawasi pemuda itu tanpa bicara, dia seperti ragu untuk menjawab. "Adik Ing!" kembali Ong Sam-kongcu bertanya sembari menjilati butiran air mata yang membasahi kelopak matanya: "cepatlah jawab, paling tidak kau mesti anggukkan kepala." "Kongcu," kata Si Ciu-ing dengan nada gemetar, "tentu saja aku seratus satu persen setuju dan menerima pinanganmu, tapi bagaimana dengan kesebelas saudara lainnya? Mereka semua mencintaimu, apa yang harus kau lakukan terhadap mereka?" "Waah, kalau soal ini..” "Kongcu, aku boleh mengajukan usul?" "Katakan saja adik Ing." "Kongcu, bagaimana kalau sekaligus kau kawini semua gadis itu?" "Tapi... apa tidak kelewatan?" "Kongcu, dengan latar belakang keluargamu serta harta kekayaan yang kau miliki, tak mungkin ada orang berani menentang, lagipula dari dua belas tusuk konde emas, kecuali Jit-moay (adik ketujuh) dan Pat-moay (adik kedelapan), hampir semuanya adalah gadis bebas." "Soal ini... kita bicarakan nanti saja!" Si Ciu-ing tahu majikannya pasti punya pemikiran lain, maka dia pun tak banyak bicara lagi dan mulai membantu pemuda itu untuk membersihkan "tombaknya yang penuh berlepotan darah. Hari kedua, baru saja tengah hari menjelang tiba, Ong Sam-kongcu didampingi dua belas tusuk konde emas sedang melukis di depan gununggunungan, tiba-tiba Ong tua, congkoan dari perkampungan muncul dan memberi laporan: "Kongcu, di luar kedatangan seorang tamu yang mengaku dari marga Go ingin berjumpa dengan kongcu!" "Dari marga Go? Apa tidak membawa kartu nama?" gumam Ong Sam-kongcu sambil berhenti melukis. "Tidak, katanya dia adalah sahabat karib kongcu ketika masih di kota Kimleng." "Aneh!" Sambil bangkit berdiri Ong Sam-kongcu mengikuti Ong tua menuju ke pintu gerbang, ia jumpai seorang pemuda berjubah biru yang mengenakan topi dan mantel kulit sedang berdiri membelakangi pintu sembari menikmati pemandangan alam di sekeliling tempat itu. "Go-kongcu!" orang tua Ong segera menyapa sembari menjura, "kongcu kami telah datang!" "Terima kasih!" sahut pemuda Go sembari pelan-pelan membalikkan badan. Begitu mendengar kata "terima kasih", tiba-tiba saja tubuh Ong Sam-kongcu gemetar keras, apalagi setelah melihat jelas paras muka orang itu, tak kuasa ia menjerit tertahan: "Aah, rupanya kau!" "Betul, memang aku, Go Hoa-ti, bersedia menerimaku?" ujar pemuda itu sambil tersenyum. "Tentu saja, tentu saja jawab Ong sam-kongcu agak gugup. "Blaaam!" saking gugupnya sikut Ong Sam-kongcu menghantam pintu kuatkuat hingga menimbulkan suara keras, tak kuasa lagi merah padam wajahnya. Waktu itu, dua belas tusuk konde emas masih berdiri di muka gununggunungan, tapi perhatian mereka sesungguhnya tertuju keluar pintu, mendengar suara benturan yang nyaring, serentak mereka memburu tiba, para gadis mengira majikannya terkena bokongan. "Kongcu, apa yang terjadi?" tanya Si Ciu-ing penuh rasa kuatir. "Aaah, tidak apa-apa ..,!" buru-buru Ong Sam-kongcu menyahut agak panik, "mari kuperkenalkan kalian semua, mereka adalah..” Belum selesai pemuda itu bicara, Go Hoa-ti telah menukas duluan sambil tertawa: "Kongcu, tak heran kau tega meninggalkan semua hasil karyamu di kota Kim-leng, rupanya dalam rumah kau banyak menyembunyikan cewek jelita" Ong Sam-kongcu tersipu-sipu hingga untuk sesaat tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dalam pada itu Si Ciu-ing telah mengamati wajah Go Hoa-ti beberapa saat, dari logat bicaranya dia tahu lawan adalah seorang nona yang sedang menyaru, maka ia pun menegur "Kongcu, tolong tanya apa kau kenal dengan Kim-leng-lihiap (pendekar wanita dari kota Kim-leng)?" "Si-lihiap, tak malu kau mendapat julukan Li-cukat (Cukat/Khong Beng wanita), betul, siaumoay adalah Go Hoa-til" Seraya berkata, ia lepaskan topi kulit penutup kepalanya. Rambutnya yang hitam panjang mengkilap segera terurai di atas bahunya. Semua orang merasa pandangan matanya jadi silau, diam-diam mereka menaruh rasa kagum akan kecantikan wajahnya yang luar biasa. Terutama Ong Sam-kongcu, dia sampai tertegun menyaksikan kecantikan wajah gadis itu. Tiba-tiba Si Ciu-ing berbisik: "Kongcu, di luar angin sangat deras, lebih baik undang masuk lebih dulu nona Go ke ruang tengahi" "Aaah, betul" kata Ong Sam-kongcu agak gugup, "nona Go, silahkan masuk!" "Terima kasih!" sambil tersenyum Go Hoa-ti berjalan masuk ke dalam ruangan. Kemudian setelah memperhatikan sekelilingnya, katanya lagi dengan suara merdu: "Kau memang pantas menyandang julukan sebagai "To-cing Kongcu" tuan muda romantis yang menggetarkan sungai telaga, tak nyana di tengah bukit yang terpencil pun bisa membangun sebuah gedung semegah ini." Sejak tahu yang hadir adalah gadis yang diidamkan dan dicintai selama banyak tahun, tingkah laku Ong Sam-kongcu berubah jadi gugup dan tak tenang, tapi setelah berbincang sesaat, kondisinya lambat laun berubah tenang kembali. Mendengar ucapan tersebut ia segera tertawa lantang: "Hahaha ... nona kelewat memuji, silahkan duduk!" Sementara itu Pek Lan-hoa sudah menyuguhkan air teh sambil menyapa: "Silahkan minum!" "Terima kasih nona Pek!" , "Apa? Kalian sudah saling mengenal?" tegur Ong Sam-kongcu tercengang. "Kongcu," sahut Go Hoa-ti, "biarpun siaumoay jarang berkelana di dunia persilatan, tetapi masih cukup mengerti siapa nama dari kedua belas orang cici itu!" "Nona kelewat memuji!" serentak para gadis menyahut. Melihat hanya dia dan Ong Sam-kongcu yang duduk di bangku, sementara dua belas gadis itu hanya berdiri, tak tahan Go Hoa-ti bertanya: "Cici semua, kalian tidak ikut duduk?" "Terima kasih nona," sahut Si Ciu-ing sambil tersenyum: "kami sudah terbiasa berdiri!" "Tapi...." Tidak menunggu gadis itu bicara lagi, Ong Sam-kongcu sudah menukas, katanya kepada para nona sambil tertawa: "Kehadiran nona Go merupakan satu kejadian langka, tolong perintahkan dapur untuk menyiapkan berapa macam hidangan khas daerah Kanglam" "Baik" sahut Si Ciu-ing, habis berkata mereka berdua belas serentak meninggalkan ruangan. Sepeninggal kawanan gadis itu, Go Hoa-ti baru berkata sambil tertawa: "Kongcu, tampaknya mereka sangat penurut?" "Hahaha ... mereka tak segan meninggalkan kehidupan mewah hanya ingin kemari untuk menemani aku, sudah banyak masalahku yang mereka selesaikan!" "Kongcu, kau memang pandai menikmati hidup!" Ong Sam-kongcu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Bagai minum air, kita harus bisa membedakan mana air dingin mana air panas, rasanya tak perlu disinggung lagi! Nona, ada urusan apa tiba-tiba kau muncul di sini hari ini?" "Kongcu, aku pun pingin tinggal di sini menemanimu, kau bersedia menerimaku?" "Apa?” Kau Ong Sam-kongcu berseru kaget, belum selesai berkata ia sudah melompat bangun. Aah! Apa yang telah terjadi? Selama ini si nona selalu bersikap acuh terhadap Ong Sam-kongcu, bahkan tak pernah menanggapi luapan perasaan cintanya, mengapa tiba-tiba ia berubah sikap? Atau... atau mungkin ia sedang bermimpi? "Kongcu, kau tak sudi menerimaku?" kembali Go Hoa-ti bertanya sambil bangkit berdiri. "Ooh ... tidak, tidak ... aku senang sekali, amat senang, silahkan duduk!" Dengan senyuman puas Go Hoa-ti duduk kembali, melihat Ong Sam-kongcu masih berdiri mematung sambil memandang ke arahnya tanpa berkedip, tak kuasa tegurnya lagi sambil tertawa: "Kongcu, silahkan duduk!" "Baik... baik... aku duduk, aku duduk!" Ong Sam-kongcu yang biasa perkasa, kali ini hanya berdiri termangu macam orang bodoh, semua kecerdasannya seolah hilang lenyap, rasa kaget serta luapan gembira yang luar biasa membuat dia tak sanggup mengendalikan diri. Diam-diam Go Hoa-ti merasa sangat bangga, tapi di luaran katanya manja: "Kongcu, kehadiranku tak akan merusak hubunganmu dengan para gadis lain bukan?" "Ooh ... tidak, tidak ... pasti tidak, bagaimana kalau kuantar untuk melihatlihat kamar tidurmu?" "Baiklah, memang itu yang kuharap!" Keluar dari ruangan, mereka berdua menyeberangi kebun bunga, kolam Tisim dan tibalah di sebuah pesanggrahan tunggal di belakang kebun. Membaca tulisan "Ti-wan" (kebun Go Hoa-ti) yang terpampang di atas pintu berbentuk bulat itu, tiba-tiba Go Hoa-ti merasa badannya gemetar keras, setelah menghela napas katanya: "Kongcu, ternyata kau tak pernah melupakan aku!" Ong Sam-kongcu tersenyum, katanya: "Mari kita tengok suasana dalam pesanggrahan nona!" Setelah melewati pintu berbentuk bulat, tiba-tiba Go Hoa-ti merasa seolah dia sudah balik ke kota kelahirannya, Kim-leng! Baik bentuk kebun bunga maupun bentuk ruang tamu, kamar tidur serta kamar baca, hampir semuanya persis seperti keadaan rumahnya, bahkan termasuk perabot serta hiasan dinding pun tak ada bedanya, tak kuasa lagi sepasang matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba ia menubruk ke dalam pelukan pemuda itu sambil terisak: "Kongcu, aku sudah kelewat banyak berhutang kepadamu!" Melihat pujaan hatinya tiba-tiba menubruk ke dalam pelukannya, Ong Samkongcu merasa hatinya berdebar keras, tubuhnya menggigil kencang. Cepat dia menarik napas panjang, setelah berhasil mengendalikan emosi, katanya lembut: "Nona, udara dan kelembaban tempat ini jauh berbeda ketimbang kota Kim-leng, karena itu banyak jenis bunga yang tak bisa tumbuh di kebun bunga ini, aku akan undang orang untuk melengkapinya" "Ti ... tidak usah! Siaumoay merasa tak sanggup menerima semua kebaikanmu....” Bicara sampai di situ, air matanya bagai air bah jatuh bercucuran. Tak selang berapa saat kemudian pakaian di bagian dada Ong Sam-kongcu sudah basah oleh air mata. Tapi Ong Sam-kongcu seperti tidak merasa, rasa gembira yang luar biasa membuat dia melupakan segala-galanya .... 0oo0 Sebulan kemudian, suasana di gedung "Hay-thian-it-si" tampak sangat meraih, seluruh gedung dihiasi lentera merah, suasana gembira menyelimuti seluruh bangunan. Akhirnya Ong Sam-kongcu berhasil menyunting seorang gadis sebagai istri sahnya, dia menikah dengan Go Hoa-ti! Sebetulnya Ong Sam-kongcu ingin mengundang segenap sahabat dan rekan baiknya untuk merayakan pesta pernikahan itu, namun usul itu ditampik Go Hoa-ti, maka dari itu tamu yang hadir dalam pesta tersebut, hanya dua belas orang tusuk konde emas yang mendelu di dalam hati serta dua puluhan orang tamu undangan. Setelah pesta berlangsung setengah harian, tiba waktunya para tamu mengiringi sang pengantin masuk ke kamar, selesai mengucapkan selamat, semua tamu pun berpamitan. Begitu juga dengan dua belas tusuk konde emas, diiringi wajah yang kaku dan lesu, mereka balik ke dalam kamar masing-masing, di situlah mereka baru berani menyeka air mata yang telah berlinang sejak tadi. Di antara mereka, Si Ciu-ing yang merasa paling sedih bercampur bimbang, karena ia temukan "Ang-sianseng atau tuan merah" yang tiap bulan datang berkunjung secara rutin, tiba-tiba menyatakan mogok bekerja! Dia telah hamil! Tapi kongcu mereka telah kawin secara resmi dengan nona Go. Apa yang akan terjadi dengan dirinya? Haruskah janin dalam kandungannya dipertahankan, atau lebih baik dipaksa keluar? Tentu saja harus dipertahankan! Tapi dirinya masih berstatus seorang gadis perawan, seorang gadis bangsawan yang belum bersuami, apa jadinya bila si jabang bayi telah lahir nanti? Apakah nona Go bersedia menerimanya? Makin dipikir perasaan hatinya makin pedih, akhirnya pecahlah isak tangisnya yang memilukan hati. Sementara itu Ong Sam-kongcu sedang memeluk Go Hoa-ti di dalam kamar pengantin, sambil minum arak, mereka saling merayu dan saling berangkulan. Tak lama kemudian kedua orang itu sudah dalam keadaan mabuk oleh air kata-kata. Dalam keadaan begini, sepasang pengantin itu mulai saling berpelukan dalam keadaan bugil, tanpa mengalami hambatan apa pun "tombak" Ong Sam-kongcu langsung bersarang di dalam "liang naga". Tapi begitu "tombak" dihujamkan, ia jumpai "jalan lorong" sangat lebar, selain tak ada hambatan, lalu lintas dapat berlalu sangat lancar, dengan gagah berani dia melangkah lebih ke dalam. Sayang keadaannya saat itu setengah sadar oleh pengaruh alkohol, sehingga gejala yang "luar biasa" itu sama sekali tidak disadari. Kalau bicara menurut aturan, bila nona itu benar-benar masih perawan, "liang naga'nya pasti sempit, banyak alat jebakan dan sukar dilalui, setiap langkah dan gerakannya harus dilakukan berhati-hati dan amat lambat, sebab kalau dilalui secara kasar, "banjir darah" bakal terjadi.... Tapi kenyataannya sekarang, bukan saja "semua jebakan" telah terbuka, "lorong rahasia" pun sangat lebar dan gampang dilalui, jangan-jangan .... Sementara itu, Go Hoa-ti mengimbangi gerakan pasangannya dengan penuh bemapsu, walaupun goyangan pinggulnya menggila, napasnya terengah-engah, namun secara diam-diam ia letakkan sepasang tangannya di bagian bawah perut, seakan tak disengaja saja, dia selalu menghindari tekanan tubuh Ong Sam-kongcu yang kelewat keras di atas perutnya. Ong Sam-kongcu mengira gadis itu kesakitan, bukan saja tidak menaruh curiga malah sebaliknya dia peringan tenaga "genjotan"nya dan tidak membiarkan "pasukannya” menyerbu kelewat dalam ke "liang naga", dia takut kekasih hatinya tidak suka hati Melihat kejadian ini diam-diam Go Hoa-ti menghembuskan napas lega, menggunakan kesempatan ketika pemuda itu tidak memperhatikan, ia segera merobek ujung jari tangan sendiri hingga berdarah, lalu diam-diam meneteskan darah itu di atas kain putih yang berada di bawah "lubang rahasia"nya. Berapa genjotan kemudian, lagi-lagi dia masukkan ujung jarinya yang berdarah ke dalam lubang rahasia sendiri, mengikuti gerakan tubuh Ong Samkongcu yang masih bergoyang tiada hentinya, ia nodai cairan mereka berdua yang telah berbaur itu dengan tetesan darahnya. Setelah berjuang berapa saat, akhirnya Ong Sam-kongcu mulai mengerang keras sambil menyerahkan "cairan kental"nya ke dalam liang musuh. Menggunakan kesempatan itu Go Hoa-ti mendorong tubuhnya dari atas badan sendiri, lalu sambil miringkan badan ke arah lain, cepat ia hentikan pendarahan ujung jari sendiri. Ketika Ong Sam-kongcu melihat di atas kain putih ternoda oleh "cairan kental" miliknya yang bercampur dengan noda darah, diam-diam ia merasa kegirangan, pikirnya: "Aaah, akhirnya aku berhasil menikmati keperawanan adik Ti!" Sampai mati pun dia tak menyangka kalau Go Hoa-ti secara diam-diam telah mengerjai dirinya. Keesokan malamnya ketika Ong Sam-kongcu kembali minta "jatah", setelah agak sangsi sejenak akhirnya dengan senyuman yang dipaksakan Go Hoa-ti melepaskan seluruh pakaian sendiri hingga bugil. Ketika "tombak" mulai menghujam ke dalam "liang"-nya, meskipun Go Hoa-ti ikut menikmati dengan bernapsu, namun keningnya tampak berkerut, seakan sedang menahan sakit. Melihat itu buru-buru Ong Sam-kongcu menegur: "Adik Ti, bagian mana vang sakit?" "Semalam kau ... kau kelewat bernapsu, aku ... milikku agak pedih dan berdarah ... sampai sekarang, bagianku yang "di situ" masih terasa sakit...." "Aaah!" buru-buru Ong Sam-kongcu mencabut kembali tombaknya sambil melompat bangun: "maaf adik Ti, aku kelewat ceroboh!" "Tidak apa-apa kakak Huan, aku ... aku minta maaf Diiringi senyum penuh rasa sayang Ong Sam-kongcu segera membersihkan "tombak" sendiri kemudian berpakaian. Sejak hari itu, Go Hoa-ti selalu menggantung tanda "tidak berperang" setiap kali Ong Sam-kongcu datang mengambil "jatah". Tapi Ong Sam-kongcu sendiri tidak memasukkan ke dalam hati, karena tiap hari istrinya selalu menemaninya main catur, melukis, membuat pantun dan melayani semua kebutuhannya dengan senyuman yang menggairahkan. Dia tidak pergi berenang pagi! Dia pun tidak lagi berlatih silat! Tiap hari kerjanya hanya mendekap istrinya di dalam kebun Ti-wan. Waktu berlalu amat cepat, dalam sekejap mata tiga bulan telah berlalu. Hari ini ketika Ong Sam-kongcu sedang duduk bersantai bersama Go Hoa-ti, tiba-tiba terdengar ia mendengus tertahan sembari memegangi perutnya dengan kening berkerut, buru-buru dia menegur: "Adik Ti, kenapa kau?" Dengan wajah merah jengah Go Hoa-ti mengerlingnya sekejap, lalu sahutnya: "Apalagi, semua gara-gara kau!" Melengak Ong Sam-kongcu setelah mendengar perkataan itu. Tapi sewaktu sinar matanya tertuju di atas pefuinya yang mulai menonjol besar, tergerak perasaan hatinya, terkejut bercampur girang serunya tertahan: "Jadi kau ... kau sudah hamil?" Tersipu-sipu Go Hoa-ti mengangguk. "Horee pekik Ong Sam-kongcu kegirangan, ia segera memeluk pinggangnya sembari teriaknya keras: "Hahaha... aku bakal jadi ayah, aku bakal jadi ayah!" "Koko Huan, hati-hati, jangan membuat janin tergerak!" bisik Go Hoa-ti memperingatkan. Mendengar itu Ong Sam-kongcu segera menghentikan goyangannya, dengan amat lembut dia bopong perempuan itu ke atas ranjang, lalu setelah membaringkan tubuhnya, menyelimuti badannya dengan sangat hati-hati. Setelah itu sembari menghembuskan napas panjang, katanya: "Adik Ti, mulai sekarang kau mesti banyak makan, istirahat, kurangi kelelahan, kalau butuh apa, perintahkan saja kepada bawahan* untuk melakukan." "Omong kosong, memangnya kau suruh aku jadi seekor babi betina yang gemuk?" "Hahaha ... jika kau babi betina, berarti aku babi jantannya, paling bagus lagi kalau kita bisa memiliki dua belas ekor anak babi!" "Aaah, siapa sudi..” "Hahaha ... istirahatlah dulu! Akan kusuruh orang menyiapkan makanan kecil” Selesai bicara dia segera berlari keluar ke halaman depan. la sampaikan berita gembira itu kepada dua belas tusuk konde emas. Siapa sangka ketika tiba di halaman depan, di tempat itu tak nampak sesosok bayangan manusia pun, beruntun dia masuk ke dalam tiga buah kamar tidur, tapi semuanya tak berpenghuni. Sementara sedang kesal, tiba-tiba ia mendengar suara Si Ciu-ing sedang muntah di dalam kamarnya. Menyusul kemudian terdengar Pek Lan-hoa berkata dengan nada kuatir: "Toaci, coba makan sebutir kiam-bwe, mungkin rasa mualmu agak berkurang!" Ketika Ong Sam-kongcu masuk ke dalam ruangan, ia saksikan dua belas tusuk konde emas sedang berdiri berjajar di depan pembaringan Si Ciu-ing, sementara Pek Lan-hoa duduk di sisinya, sembari memeluk tubuh perempuan itu, dia sedang mengurut dadanya. Melihat paras muka Si Ciu-ing pucat pias, buru-buru ia menegur dengan agak panik: "Adik Ing, kenapa kau?" Sejak tahu dirinya hamil, Si Ciu-ing sudah merasa amat malu, apalagi secara beruntun berapa bulan tak pernah nampak bayangan tubuh Ong Sam-kongcu datang mengunjunginya, rasa kecewa, panik dan gelisah yang luar biasa membuat ia jatuh sakit. Beberapa kali rekan-rekannya ingin melaporkan kejadian ini kepada Ong Samkongcu, tapi setiap kali selalu dicegahnya. Tak heran kalau hatinya menjadi sedih bercampur girang setelah mendengar pertanyaan majikannya kali ini yang penuh perhatian, tak kuasa lagi air mata jatuh bercucuran, tak sepatah kata pun sanggup diucapkan. Melihat hal ini Ong Sam-kongcu semakin menaruh rasa iba bercampur sayang, duduk di sampingnya sembari memeluk badannya, kembali dia bertanya: "Adik Ing, kenapa wajahmu pucat dan kondisi badanmu amat lemah?" "Kongcu ...." bisik Si Ciu-ing lirih, dia tak mampu melanjutkan perkataannya. "Kongcu!" Pek Lan-hoa segera berbisik, "toaci sudah hamil!" "Sungguh?" seru Ong Sam-kongcu dengan badan bergetar, "adik Ing, kau sungguh hamil?" Dengan wajah tersipu Si Ciu-ing mengangguk, tak sepatah kata pun diucapkan. "Aaah, aku sangat gembira! Aku sangat gembira!" teriak Ong Sam-kongcu kegirangan, "ini namanya dua kegembiraan datang berbareng, adik Ing, kenapa tidak kau kabarkan sejak awal? Aku benar-benar telah menyiksamu!" Cukup! Dengan adanya perkataan dari Ong Sam-kongcu itu, Si Ciu-ing merasa hatinya lega sekali. Rasa risau, sedih, murung, panik dan tak tenang yang dideritanya selama berapa hari belakangan, seketika hilang lenyap tak berbekas, tanyanya dengan suara lembut: "Kongcu, ada urusan apa kau muncul kemari secara tiba-tiba?" Setelah memandang dua belas tusuk konde sekejap, kata Ong Sam-kongcu penuh kegembiraan: "Adik Ti juga telah hamil!" Sekali lagi kawanan gadis itu mengucapkan selamat kepada Ong Sam-kongcu, walau kali ini ucapan selamat diutarakan dengan perasaan sedikit mengganjal. Sesudah mengucapkan terima kasihnya, kembali Ong Sam-kongcu berkata: "Adik Ing, selanjutnya kau harus banyak istirahat, banyak makan makanan bergizi, jangan sampai bayi dalam kandunganmu jadi kurus." "Terima kasih atas perhatian kongcu." Kepada sebelas orang nona lainnya kembali Ong Sam-kongcu berpesan: "Nona semua, kondisi badan adik Ing kurang sehat, selanjutnya aku mohon bantuan kalian untuk merawat dirinya" "Kongcu tak usah kuatir!" 0oo0 Bunga bwe mulai mekar di musim dingin, semenjak pesanggrahan "Hay-thianit- si" diramaikan suara tangisan bayi, suasana di tempat itu nampak bertambah riang dan hidup. Go Hoa-ti melahirkan seorang bayi perempuan yang berwajah cantik dan bertubuh halus. Sebulan setengah kemudian, Si Ciu-ing melahirkan juga seorang bayi lelaki yang gemuk dan sehat. Dua belas tusuk konde emas sangat gembira. Sedikit banyak dalam hati kecil mereka semua selalu menaruh perasaan cemburu yang amat sangat terhadap Go Hoa-ti, tapi dengan kelahiran seorang bayi lelaki oleh toaci mereka, tanpa terasa mereka semua dapat menghembuskan napas lega, sebab paling tidak toaci mereka telah membuktikan dapat mengungguli Go Hoa-ti. Oleh karena bayi perempuan Go Hoa-ti diberi nama Bu-jin, maka bayi lelaki Si Ciu-ing diberi nama Bu-ciau. Ong Bu-ciau! Sejak pagi hingga malam gedung pesanggrahan hampir selalu diramaikan teriakan nyaring Ong Bu-ciau. Dua belas tusuk konde emas saling berebut merawat Ong bu-ciau, asal dia menangis maka sebelas tusuk konde berebut menggantikan popok bayinya yang basah oleh air kencing. Seandainya mereka semua bisa "menyusui", mungkin Si Ciu-ing tak akan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan putranya. Ong Sam-kongcu sebagai seorang bapak, tentu saja gembira sekali menyaksikan hal ini. Orang bilang: "ibu terhormat karena sang putra", begitu juga dengan posisi Si Ciu-ing, gara-gara Ong Bu-ciau, posisinya dalam pandangan Ong Sam-kongcu pun ikut terkatrol. Ong Sam-kongcu tidak lagi sepanjang hari mengendon dalam kebun Ti-wan, saban hari, paling tidak selama tiga hingga empat jam dia selalu meluangkan waktunya berada di halaman muka. Tanpa terasa setengah tahun sudah lewat. Dua orang bocah itu betul-betul menikmati perawatan yang prima di dalam gedung, sehingga bukan saja kondisi badannya jauh lebih sehat ketimbang bayi kebanyakan, mereka pun jauh lebih lincah dan cekatan. Biarpun Ong Bu-ciau dilahirkan sebulan setengah lebih lambat ketimbang Ong Bu-jin, namun perawakan tubuhnya jauh lebih sehat dan lebih lincah ketimbang encinya, melihat hal ini diam-diam dua belas tusuk konde merasa kegirangan karena tak sia-sia pengorbanan mereka selama ini. Malam itu rembulan tampak amat cerah menyinari angkasa, Ong Sam-kongcu dengan mengenakan mantel kulitnya sedang berjalan di dalam kebun sambil menikmati keindahan malam. la memang patut merasa gembira. Istri tercinta, gundik tersayang, putra putri yang sehat, semuanya membuat kehidupannya terasa lebih bahagia dan nikmat. Tiba-tiba dari kejauhan sana, di atas jembatan kecil, ia mendengar ada suara wanita sedang berbisik-bisik, dengan perasaan keheranan Ong Sam-kongcu segera membatin: "Aneh! Sudah begini malam kenapa adik kelima dan adik keenam masih berada di situ? Apa yang sedang mereka bicarakan?" Terdorong rasa ingin tahu, diam-diam ia menyelinap di balik semak belukar dan mencuri dengar isi pembicaraan mereka. Terdengar Pek Lan-hoa sedang berkata dengan suara lirih: "Ngo-ci (enci kelima), ternyata kau pun merasa kalau wajah Bu-jin sama sekali tak mirip dengan kongcu kita? Padahal sudah lama aku menyimpan perasaan itu, hanya tak berani kuutarakan." "Lak-moay (adik keenam), ada satu hal lagi apa kau perhatikan juga? Padahal toaci berhubungan intim lebih duluan dengan kongcu, tapi anehnya kenapa justru nona Go yang melahirkan oroknya lebih duluan?" "Aaah, kenapa aku tidak perhatikan persoalan ini? Coba kuhitung .... ehmm! Betul, paling tidak toaci satu bulan setengah lebih cepat ketimbang nona Go pertama kali berhubungan intim dengan kongcu, tapi nona Go justru melahirkan satu bulan setengah lebih awal ketimbang toaci, aneh, kenapa bisa selisih waktu begitu jauh?" "Yaa, betul! Bila dihitung secara keseluruhan, berarti paling tidak ada selisih waktu dua setengah bulan!" "Ngo-ci, apa mungkin ada udang di balik batu?" "Huss, jangan sembarangan omong! Kongcu adalah orang yang mengawininya, dia pasti jauh lebih tahu ketimbang kita, bila dia pun tidak bilang apa-apa, berarti semuanya tak ada masalah, siapa tahu dia memang melahirkan prematur?" "Tidak mungkin! Ngo-ci, sewaktu nona Go melahirkan, kebetulan aku pun hadir di situ, bila dilihat dari kulit wajah Bu-jin yang menghitam, jelas usia si jabang bayi sudah lebih dari cukup!" "Haah, sungguh?" "Benar, ketika nenek masih hidup, beliau paling suka membantu orang melahirkan, setiap kali selesai membantu kelahiran, beliau selalu menceritakan pengalamannya dengan penuh kegembiraan, oleh sebab itu pengetahuanku tentang hal tersebut sudah lebih dari cukup." "Lantas ... jika ... jika kongcu mengetahui rahasia ini, apa mungkin...." "Ngo-ci, asal kita tidak menyinggung persoalan ini, aku percaya kongcu juga tak bakalan tahu." "Aaai ... padahal cinta kongcu terhadap nona Go amat mendalam, sungguh tak disangka yang diperoleh justru akhir semacam ini." "Sudahlah, malam sudah semakin kelam, ayo kita balik ke kamar dan beristirahat!" Dalam pada itu Ong Sam-kongcu masih berjongkok di balik semak belukar dengan perasaan tertegun. Semua pembicaraan kedua orang nona itu terasa selalu mengiang di sisi telinganya. Mungkinkah semua yang dibicarakan itu benar? Selama ini aku selalu mencintainya setulus hati, kenapa ia membalas demikian terhadapku? Tidak ... tidak mungkin! Pasti tidak mungkin! Tapi wajah Jin-ji yang berbeda serta saat kelahiran adik Ti yang lebih awal ... dua kejadian itu merupakan kenyataan dan sudah terpampang di hadapan matanya, apakah aku harus menipu diri sendiri? Haruskah aku menghibur diri sendiri dengan mengatakan bahwa semuanya hanya rekayasa belaka? Dengan penuh penderitaan dia bungkukkan badannya, ia sembunyikan raut wajah sendiri di balik telapak tangan. Angin malam berhembus amat kencang, hawa dingin yang merasuk dalam tulang bagaikan pecut yang tiada hentinya melecuti perasaan hati Ong Samkongcu yang lemah, dia merasa hatinya mulai berdarah, perasaannya tercabikcabik.... Akhirnya dengan perasaan lemas ia menjatuhkan diri berbaring di atas permukaan tanah yang dingin. 0oo0 Keesokan harinya sekitar pukul lima pagi, ketika bawahan mulai membersihkan halaman, tiba-tiba mereka menjumpai majikan muda mereka tergeletak di tanah, disangkanya Ong Sam-kongcu teian dicelakai orang, suasana pun jadi gempar. Go Hoa-ti, Si Ciu-ing beserta sebelas tusuk konde tergopoh-gopoh berlari ke tempat kejadian. Sambil membopong tubuh Ong Sam-kongcu yang tidak sadarkan diri, Go Hoati memanggil tiada hentinya: "Engkoh Huan, engkoh Huan ..." Apa lacur Ong Sam-kongcu merasa pukulan batin yang diterimanya teramat berat, ditambah lagi sudah semalaman semaput di tengah hujan salju yang teramat dingin, mana mungkin ia bisa mendengar panggilan gadis-gadisnya. Baru saja Go Hoa-ti akan mengerahkan hawa murninya untuk menolong, tibatiba terdengar Si ciu-ing berkata: "Nyonya, aku mengerti sedikit ilmu pertabiban, bagaimana kalau kita antar dulu kongcu ke dalam kamarnya?" Agak tertegun Go Hoa-ti setelah mendengar panggilan yang begitu sopan dari Si Ciu-ing, selanya: "Enci Ing, kita sudah sekeluarga, kenapa kau masih panggil aku nyonya?" "Nyonya, lebih baik kita menolong kongcu lebih dahulu!" tukas Si Ciu-ing sambil tertawa getir. Habis berkata dia balik ke kamar sendiri mengambil kotak obat, kemudian balik lagi ke kamar Ong Sam-kongcu. Waktu itu Ong Sam-kongcu sudah dibaringkan di atas ranjang, sementara kawanan gadis yang lain menanti dalam kamar dengan gelisah. Si Ciu-ing dengan menggunakan jari tengah dan telunjuk menekan nadi di pergelangan kanan Ong Sam-kongcu lalu sambil memejamkan mata memeriksanya dengan seksama. Tak selang berapa saat kemudian, ia baru membuka kembali matanya dan berkata sambil menghembuskan napas lega- "Untung kongcu hanya sedikit terserang hawa dingin, asal minum obat dan beristirahat sejenak, keadaan akan membaik dengan sendirinya." Seraya berkata dia ambil sebuah botol porselen putih, menuang keluar dua butir pil dan dijejalkan ke mulut Ong Sam-kongcu. Setelah itu katanya lagi dengan suara lirih: "Nyonya, pergilah beristirahat, serahkan ini kepada kami untuk berganti menjaganya!" Go Hoa-ti berpikir sejenak, akhirnya dia mengangguk: "Baiklah, kalau begitu merepotkan kalian semua!" Selesai berkata, dia melirik Ong Sam-kongcu sekejap lalu pergi dari situ tanpa bicara. Memandang hingga bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan, Pek Lan-hoa baru mendengus seraya mengomel: "Benar-benar tak tahu budi, bagaimanapun, tinggallah sedikit lebih lama sebelum pergi, percuma kongcu begitu menyayangi dirinya!" "Lak-moay!" buru-buru Si Ciu-ing menyela: "hujin tak mengerti ilmu pengobatan, lagi pula mesti merawat Jin-ji, tentu saja kurang leluasa baginya untuk merawat kongcu, toh kita banyak orang, biar kita saja yang bergilir menjaga!" "Hmm! Kongcu sudah minum obat, asal keluar keringat, dia pasti akan mendusin, biarpun tak mengerti ilmu silat, rasanya tak sulit untuk merawatnya. Sementara si budak Jin kan dirawat bibi Ong, kapan sih dia pernah ikut campur? Hmm! Aku rasa dia memang tak berminat ke situ, toaci, kau ...." Hi Ku-lan (enci nomor lima) tahu Pek Lan-hoa akan menyinggung lagi urusan semalam, cepat-cepat dia memotong: "Lak-moay, kau tak boleh mengkritik hujin di belakangnya" Pek Lan-hoa segera mengerti, ia membungkam dan menundukkan kepalanya. Si Ciu-ing kuatir dua orang itu salah tingkah, buru-buru dia bertanya: ”Adik sekalian, dengan ilmu silat serta kebiasaan hidup kongcu, kenapa dia bisa mendadak jatuh pingsan di halaman luar?" Hi Kui-lan dan Pek Lan-hoa mengerti pasti secara tak sengaja kongcu telah mendengar pembicaraan mereka berdua semalam hingga jatuh pingsan karena tak kuat menahan pukulan batin, walau begitu, mana berani mereka berdua mengakuinya secara terus terang? Melihat para gadis tak ada yang menjawab, kembali Si Ciu-ing melanjutkan: "Aku masih ingat sewaktu kemarin sore bermain dengan Cau-ji, dia nampak sangat gembira, tapi barusan, aku merasa denyut nadinya sangat cepat dan memburu, seakan-akan ada sebuah masalah besar yang mengganjal perasaan hatinya." Pek Lan-hoa memandang Ngo-cinya sekejap, lalu katanya: "Toaci, mungkin belakangan kongcu menjumpai kejadian yang tidak menyenangkan, tapi dia enggan memberitahu kepada kita?" "Aku rasa ... tidak mungkin, malah berapa hari berselang kongcu sempat punya usul akan menyelenggarakan upacara perkawinan resmi denganku, tapi kutolak tawaran itu." "Aaai ... kongcu memang pemuda romantis yang banyak main cinta," keluh Pek Lan-hoa sambil menghela napas, "aku takut setelah dewasa nanti Cau-ji meniru perangainya itu .... Oyaa, toaci, kau pandai ilmu pengobatan, boleh aku bertanya tentang satu hal?" "Katakan saja!" "Orang bilang antara ayah dan anak pasti mempunyai hubungan darah yang amat dalam, seandainya kita ambil berapa tetes darah Cau-ji dan darah kongcu lalu dicampurkan, mungkin tidak kedua darah itu akan menyatu jadi satu?" Hi Kui-lan tahu adik keenamnya ingin membuktikan lebih jauh apakah Jin-ji si bocah perempuan itu anak kandung kongcu mereka atau bukan, tapi kuatir cicinya menaruh curiga, buru-buru selanya sambil tertawa: "Lak-moay, kau pingin lihat apakah di kemudian hari anak Cau adalah seorang lelaki yang suka main perempuan atau bukan?" "Betul!" "Sejak dulu, pemeriksaan cairan darah hanya bisa dipakai untuk membuktikan apakah seseorang punya hubungan darah atau tidak, mana mungkin bisa membuktikan tabiat seseorang?" kata Si Ciu-ing sambil tertawa, "sebab baik buruknya watak seseorang sangat dipengaruhi faktor lingkungan serta pergaulan." "Cici, bagaimana caranya untuk membuktikan pertalian darah seseorang?" desak Hi Kui-lan dengan rasa ingin tahu. "Sederhana sekali, kita ambil darah dari dua orang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen, kemudian dikocok sebentar, bila darah itu segera berbaur dan lagi memancarkan warna yang sama, berarti kedua orang itu mempunyai tali hubungan yang sangat dekat." "Ooh, rupanya begitu, adik keenam, lebih baik kau bersabarlah menunggu enam-tujuh belas tahun lagi, saat itu kita baru bisa membuktikan anak Cau seorang hidung belang atau bukan." Han Gi-ang, si adik nomor buntut yang selama ini hanya membungkam, tibatiba ikut bicara sambil tertawa: "Cici kelima, cici keenam, kalian tak usah menunggu kelewat lama, secara diam-diam aku telah meramalkan nasib anak Cau!" "Aaah betul," seru Pek Lan-hoa tertawa, "aku sampai kelupaan kalau adik kita dijuluki orang "Poan-sian" setengah dewa, adik Ang, cepat ceritakan!" Han Gi-ang tertawa. "Cici semua, sebelum bicara, siaumoay ingin menyatakan satu hal lebih dulu, apa yang kuucapkan hari ini hanya menjadi behan pertimbangan saja." "Sudahlah adik, jangan hilangkan selera orang, cepat cerita," tukas Pek Lanhoa. Setelah tarik napas panjang, dengan wajah serius Han Gi-ang berkata: "Berkat perlindungan dan karma baik nenek moyangnya, di kemudian hari bukan saja anak Cau akan termashur, dalam hal percintaan pun akan jauh lebih bahagia ketimbang kongcu, tetapi dia mesti pergi jauh meninggalkan desa kelahiran bila ingin meraih sukses besar." Terkejut bercampur girang menyelimuti perasaan bi Ciu-ing, tapi dia pun merasa berat hati bila harus berpisah dengan putra kesayangannya. Bab II. 10 tahun mengembara, mencari jejak kekasih hati. Pek Lan-hoa termenung sambil berpikir sejenak, kemudian kembali tanyanya: "Adik, menurut penglihatanmu, bagaimana penghidupan rumah tangga kongcu kita di kemudian hari?" Han Gi-ang melirik Ong Sam-kongcu sekejap, kemudian katanya sambil geleng kepala: "Maaf Lak-ci, rahasia langit tak boleh bocor, maaf bila siaumoay tak berani buka rahasia ini!" "Hai, kita adalah sama-sama saudara, kenapa sih kau mesti sok rahasia begitu?" "Kalau begitu biar kubuka sedikit rahasia ini, sebelum akhir tahun, bintang Ang-loan (bintang kegembira-an)-mu kelihatan bersinar, jangan lupa suguh beberapa cawan arak kegiranganmu untuk siaumoay! Hahaha Akhir tahun ini? Ooh, bukankah tinggal dua bulan lagi? Tapi... apa mungkin? Dengan hati berdebar Pek Lan-hoa segera berseru: